RENUNGAN NYADRAN DESA SILURAH

[21:55, 2/25/2017] +62 899-6565-951: Setiap kali berada di desa bersama masyarakat, di pedalaman yang alam dan budayanya masih terjaga seketika selalu timbul suatu rasa “ancaman” dalam diriku yang bergejolak. Aku takut alam itu rusak. Soal budaya, aku percaya orang-orang desa bisa menjaga, karena senantiasa hidup dalam diri mereka, sebagaimana tampak dalam upaca-upacara tradisional yang terus mereka lakukan dan lestarikan. Namun jika alam rusak seberapa kuat mereka bisa menjaga budayanya. Yang kutahu selama ini kubanyak keliling di beberapa tempat di negeri ini, kutemukan misalnya bagaimana danau yang rusak dan tercemar serta hutan-hutan yang diperkosa demi keserakahan segelintir manusia juga ternyata berakibat bagi punahnya kain tradisi. Alam yang terjaga bagaimanapun sumber utama bagi hidupnya budaya. Alam adalah nutrisi penting bagi budaya. Ialah nafasnya.

Beberapa hari bersama masyarakat desa pegunungan ini, kurasakan “ancaman” itu muncul bukan dari mereka atau dari desa itu sendiri, melainkan segala hal yang datang dari luar, yaitu segala yang kota. Kota-kota yang telah diberi air oleh alam dari desa pegunungan ini melewati mata air dari dinding-dinding tanah dan batu, mengalir jadi sungai besar yang jernih, menghidupi segenap ttumbuhan dan tanaman pangan, juga menghidupi desa-desa lainnya dibawahnya, airnya terus mengalir sampai jauh hingga ke kota-kota di bawahnya, kota-kota yang akhirnya membuang limbah-limbah kimianya pada aliran sungai itu hinga masuk ke laut Jawa. Kota-kota tak mampu menjaga kebersihan dan kejernihan air yang semula jernih dari desa pegunungan ini. Kota-kota telah mencemarinya berpuluh-puluh tahun-tahun lamanya, membuat kehidupan kota-kota juga kesulitan mendapatkan air yang bersih, karena air yang merembes ke dalam tanah juga telah menjadi tercemar. Kota-kota itu akhirnya perlu air bersih, dan bagaimana untuk mendapatkannya? Desa-desa pegunungan seperti ini kini menjadi korbannya lagi untuk pasokan air bagi kota. Rupanya aliran sungai yang telah mengalir sejak berabad-abad lamanya itu tak cukup bagi mereka, meskipun mereka sendiri yang telah mencemarinya dan tak bisa menjaga bahkan merawatnya.  Dengan teknologi pipa-pipa raksasa masyarakat desa-desa pegunungan ‘dipaksa’ menerima kenyataan sumber mata air kehidupannya “dirampok” untuk bisa “berbagi” dengan kota secara teknologi dan manajemen “peradaban modern” sebagai jawaban ketidakmampuan menjawab persoalan berkait lingkungan alam yang sesungguhnya, sehingga yang muncul adalah jalan pintas yang exploitatif dan kapitalistis. Oleh karena masyarakat desa, seperti yang kutemui  ini, mereka bilang apalah sejatinya mereka itu, suara mereka tak berdaya, apalagi di bawah para penguasa. “Saat ini syukurnya masih musim hujan, bagaimana bila terjadi musim kemarau yang panjang, baru akan terasa jelas bagi kami dan masyarakat petani di desa-desa di bawah ini akan kesulitan mendapat air, sementara di pipa-pipa yang ditanam 3 meter dalam tanah itu mengalir air yang bukan punya kami lagi”, ujar seorang petani kepada kami.

Kupandangi sungai Kupang yang berbatu-batu tempat menderas air dari pegunungan ini, sungai peradaban dari masa silam yang melandasi tumbuhnya kepercayaan lokal di masa kebudayaan protohistory dan masa sesudahnya, di mana keduanya bisa kusaksikan hidup demikian damainya dengan sistem budaya yang menjaga alam demikian sempurnanya. Di balik hutan pegunungan ini bisa kusaksikan punden-punden berundak, arca-arca lingga yoni bertebaran di mana-mana, arca Ganesha dan Bodhisatwa Avaloketesvara menjaga sumber mata air kehidupan di dalam hutan tempat bertemunya dua aliran sungai kecil, yaitu kali Sumilir dan kali Rugno yang bersatu menjadi sungai Kupang yang deras ini.  Kutaktahu bagaimana nasibmu kelak wahai mata air Sumilir yang salah satu alirannya telah dibendung dengan pipa besar itu. Yang kuyakini bahwa perusahaan yang telah mempipa airmu itu tak faham tentang mitos-mitos lokal gunung-gunung peradaban ini, tak faham Ganesha, tak faham Bodhisatwa Avaloketesvara. Yang mereka tahu hanyalah angka-angka dan devisa.

Oh peradaban Saelendra, mata airmu yang dulunya telah selama ribuan tahun mengalir secara alami, membagi dan menyuburkan segenap penjuru dengan keseimbangan alam yang terjaga, kini terancam ekosistemnya bagi lingkungan pedesaan-pedesaanmu. Dan material sungaimu, batu-batu dan pasir di sungai-sungai besarmu seperti Kupang ini juga terancam, ditambang bersama pasir-pasirmu, menjadi galian C yang setiap hari kini terus beroprasi secara sporadis di mana-mana. Haruskah peradaban kota musti berjalan dengan cara menghancurkan peradaban desa? (MJA Nashir, sebuah renungan usai upacara tradisi “Nyadran Gunung”, sedekah bumi Silurah 25 Februari 2017. Photo oleh Paul Manahara Tambunan).

renungan usai Nyadran Gunung, semoga bermanfaat : https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10155070172394712&set=a.10152525904264712.1073741867.565934711&type=3&theater&notif_t=like&notif_id=1488016535394268                      
[21:55, 2/25/2017] +62 899-6565-951: 👆

by ; Mas Mja Nashir Batang

Komentar

Postingan populer dari blog ini

URGENSI ADMINISTRASI DALAM SUATU ORGANISASI

NTELISIK BATANG 2017 Desa pacet ,Reban ,Batang

‘’Wajah Batang yang terancam”